Kebanyak dari kita mengganggap keuntungan berlipat ganda serta melimpahnya harta kekayaan, aset dan banyaknya cabang yang berkembang menjadi standar kesuksesan. Bahkan sering kali masuk kedalam nominasi terkaya atau terpopuler setingkat kecamatan atau bahkan internasiobal menjadi acuan dan tolak ukur kesuksesan.
Lebih jauh jika kita renungkan dan mengalihkan dalam pandangan syari’at islam, tentunya sukses bukan sebagaimana yang kita definisikan diatas, melainkan kita harus benar-benar menikmati kesuksesan tersebut(maksudnya tidak sibuk/diperbudak oleh kriteria diatas). Betapa banyak orang yang sesuai dengan kriteria (sukses) namun hatinya ternyata gersang karena tak pernah menikmati kesuksesannya sehingga terasa pahit, getir dalam derita kemudian berakhir dengan tragis, naudzubillah. Sebagaimana yang Alloh ceritakan dalam Al-Qur’an mengenai umat-umat sebelum kita yang sedemikian Alloh karuniai kelimpahan rizki, keilmuan yang tinggi dan kemudahan urusan dunia namun ternyata semua hancur dengan kekuatan dan kekuasaan Alloh, “jadi, maka terjadilah”.
“Apakah mereka tidak memperhatikan …” (QS Muhammad [47]: 24)
“… Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?”” (QS Al-An’am [6]: 50)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS Al-Jatsiyah [45]: 13)
Bagi Alloh begitu mudahnya menjadikan yang ada menjadi tidak ada, begitu pula sebaliknya, maasya Alloh la quwata ila billah. Sebagaimana kita mendapati kapur barus (kamper) dengan wanginya yang menyengat, yang kemudian menyublim oleh kekuasaan Alloh melalui angin, fuuuuh… hancur, kemudian hilang.